Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kisah Zubair bin Awwam, Sang Pembela setia Rasulullah

Selasa, 11 Juni 2024 | 14:45 WIB Last Updated 2024-06-11T07:45:11Z
Daftar Isi [Tampilkan]
Kisah Zubair bin Awwam


Zubair bin Al Awwam merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad sekaligus juru tulis beliau. Zubair ditugaskan untuk mencatat kekayaan negara yang berasal dari zakat. Zubair dilahirkan 28 tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Kota Madinah. Nasabnya bertemu dengan nasabnya Rasulullah di kakeknya, Qusay. Khadijah, isteri Rasulullah adalah bibinya, ibunya bernama Shafiyah binti Abdul Muthalib. Nama lengkapnya adalah Zubair bin Al Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah Al Quraisyi Al Asadi Al Makki Al Madani. Oleh ibunya, Zubair diberi julukan Abu Thahir. Ia juga dijuluki sebagai Al Hawariy (Sang Pembela Rasulullah) oleh Rasulullah SAW. Beliau telah memberikan gelar ini kepada Zubair pada banyak kesempatan, dan dengan sebutan itu, Zubair dikenal di kalangan para sahabat Rasulullah. Arti dari Al Hawari adalah seorang penolong dan pembela yang begitu loyal terhadap apa yang dibelanya serta tulus dan murni dari tendensi apapun, dan Zubair adalah orang yang paling pantas menyandang gelar Al Hawari tersebut. Zubair juga pernah meriwayatkan kurang lebih 38 hadits.

Zubair bin Al Awwam masuk Islam di Mekkah saat ia berusia 15 tahun melalui perantara Abu Bakar dan termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun (kelompok orang yang pertama masuk Islam). Keislamannya tersebut menyebabkan kemarahan dari kalangan keluarganya sendiri dan para pemuka kafir Quraisy. Pamannya marah besar kepadanya dan menggulung badannya dengan tikar kemudian dipanaskan dengan api agar Zubair kembali ke agama nenek moyangnya, namun Zubair tetap teguh pendiriannya dan mengatakan “Aku tidak akan kembali kepada kekufuran selama-lamanya”. 

Zubair bin Al Awwam tumbuh menjadi seorang ksatria yang gagah dan berani. Ia menikah dengan Asma’ binti Abu Bakar yang bergelar Dzatun Nithaqain. Dari pernikahannya dengan Asma binti Abu Bakar, lahirlah Abdullah bin Az Zubair yang kelak akan menjadi seorang Mujahid pemberani dan Urwah bin Az Zubair yang kelak akan menjadi salah seorang Ahli Fikih termasyhur di Kota Madinah. Putera-puteranya yang lain adalah Al Munzir, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, dan Khalid. Khalifah Umar bin Khattab menunjuk Zubair sebagai panitia pelaksana musyawarah untuk memilih Khalifah setelah Umar. Penunjukkan Zubair oleh Khalifah Umar sebagai pelaksana musyawarah merupakan pilihan yang tepat sebab Zubair telah banyak berjasa terhadap kejayaan dakwah islam.

Zubair memiliki bekas luka tusukan di dadanya dari anak panah. Ketika Peperangan Hunain berkecamuk, Zubair berhasil memecah kekuatan Malik bin Auf, pemimpin kaum Hawazin Musyrik ketika itu. Rasulullah pernah bersabda mengenai Zubair “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di Surga”. Zubair juga ikut dalam peristiwa hijrah Nabi ke Habasyah (Ethiopia) yang pertama dan kedua. Selama ikut berhijrah ke Habasyah, banyak pengalaman berharga yang didapatkan Zubair. Dari sinilah muncul persaudaraan antara para pendatang dengan pribumi. 

Ketika umat islam berada di depan benteng Babilonia untuk menaklukkan Negeri Mesir dan mengepung benteng selama tujuh bulan, Zubair berkata kepada Amru bin Ash “Wahai Amru, saya siap mengorbankan nyawa demi agama Allah dan semoga Allah memberikan kemenangan atas umat Islam”. Amru bin ‘Ash kemudian membawa pasukan muslim maju menaiki benteng hingga akhirnya benteng tersebut dapat ditaklukkan. 

Beberapa Keutamaan Zubair bin Al Awwam

  1. Zubair bin Awwam merupakan sahabat pertama yang menghunus pedang di jalan Allah. 
  2. Zubair bin Al Awwam merupakan sahabat mulia yang pernah menginfakkan hartanya di jalan Allah. Ka’ab berkata tentangnya “Zubair memiliki 1000 macam kekayaan yang dikeluarkan untuk berperang, dan tak uang satu Dirham Pun yang masuk ke rumahnya”. 
  3. Rasulullah begitu mencintai Zubair. Beliau bersabda “Sesungguhnya setiap Nabi memiliki pembela, dan pembelaku adalah Zubair”. 
  4. Ketika peperangan Khandaq, Rasulullah memberikan penghormatan kepada Zubair yang tiada bandingannya. Beliau bersabda kepadanya “Tebusanmu adalah bapak dan ibuku”.

Wafatnya Zubair bin Al Awwam

Zubair bin Al Awwam wafat pada awal tahun 36 H ketika berusia 67 tahun. Zubair bin Al Awwam wafat ketika terjadi konflik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah RA, yang dikenal sebagai perang Jamal (perang berunta). Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, para sahabat senior kemudian sepakat untuk membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah berikutnya menggantikan Utsman. Dalam pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah ini, ada beberapa pihak yang tidak menyetujui akan hal tersebut. Di Antara pihak-pihak yang mendustakan Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Negeri Syam dan juga Ummul Mukminin Aisyah RA yang saat itu berada di Madinah Al Munawwarah, serta dua sahabat senior Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Al Awwam di Mekkah. 

Konflik Khalifah Ali dengan Muawiyah bin Abu Sufyan berakhir dengan terjadinya peristiwa perang Shiffin, yang kemudian dilanjutkan dengan arbitrase (Tahkim) dengan beberapa perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak. 

Ketika mendengar pengangkatan Ali sebagai Khalifah, Aisyah RA yang berada di Madinah kemudian menghubungi Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Al Awwam agar menjalin persekutuan untuk menentang pemerintah Khalifah Ali bin Thalib. Aisyah, Thalhah, dan Zubair kemudian menghimpun sebuah pasukan yang berasal dari orang-orang kepercayaannya. Mereka kemudian bergerak menuju ke Kota Basra. Mengetahui pasukan Aisyah, Thalhah, dan Zubair yang telah berada di Kota Basra, Ali yang telah mempersiapkan pasukannya untuk menuju Negeri Syam melawan Muawiyah, kemudian membawa pasukannya bergerak menuju ke Kota Basra. 

Sesampainya di Kota Basra, tidak langsung terjadi pertempuran antara kedua belah pihak, melainkan terjadi perundingan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah RA. Hasil dari perundingan tersebut adalah Khalifah Ali dan Aisyah RA sepakat untuk berdamai dan menghentikan peperangan saudara yang sedang terjadi. Namun, ketika malam tiba, Kaum Saba'iyah (pengikut Abdullah bin Saba) yang dipimpin langsung oleh Abdullah bin Saba yang berada di barisan pasukan Khalifah Ali, berniat untuk mengacaukan perjanjian damai antara Khalifah Ali dengan Aisyah RA. 

Akhirnya, sebelum fajar menyingsing, Kaum Saba'iyah secara diam-diam tanpa sepengetahuan Khalifah Ali, malah menyerang sebagian pasukan Thalhah dan Zubair. Akhirnya terjadilah pertempuran sengit yang tak dapat terelakkan. Peperangan ini menelan beberapa korban jiwa baik dari pihak Khalifah Ali maupun pihak Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Thalhah dan Zubair juga menjadi korban dalam peperangan Jamal ini. Aisyah RA kemudian dipulangkan oleh Khalifah Ali kembali ke Kota Madinah dan tinggal disana hingga akhir hayatnya. 

Ia dibunuh oleh seorang yang bernama Amr bin Jurmuz dan kematiannya membawa duka yang mendalam bagi umat Islam. Mengenai kematiannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata “Nerakalah bagi pembunuh putera Shafiyyah ini”. Saat pedang Zubair dibawa ke hadapan Khalifah Ali, Khalifah Ali lalu mencium pedang tersebut sambil menangis, kemudian ia berkata “Demi Allah, ini adalah pedang yang membuat pemiliknya mulia (dengan berjihad) dan dekat dengan Rasulullah sebagai Al Hawari (sang pembela). Sebelum wafat, Zubair berwasiat kepada Abdurrahman bin ‘Auf dan Abdullah bin Mas’ud untuk menjaga putera-puteranya.  

Referensi : 
[1] Cahyadi., A. 2014. Tokoh dan Karakter Akuntan Rasulullah. Akuntabilitas. 7 (2) : 109-121. 
Matin., F.S. 2016. 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga. Surakarta : PSQ Publishing. 
[2] Ulya’., K, dan Saidah. 2017. Rijalul Qur’an : Membincang Sejarah Para Penulis Wahyu. Qaf. 1 (1) : 51.