Ustadz Oemar Mita Lc |
Komitmen kita terhadap sunnah Rasulullah SAW itu merupakan sebuah perkara yang besar. Dia bukan perkara kecil. Dialah perkara yang akan memberikan kelapangan dan keselamatan dari urusan dunia kita. Dan urusan di akhirat kita itu tergantung bagaimana komitmen kita ketika mengikuti Rasulullah SAW.
Jangan dipandang sebelah mata komitmen kita untuk mengikuti Rasulullah. Karena banyak orang hari ini ketika menjadi muslim itu banyak yang berkomentar “Sudahlah enggak usah terlalu ekstrem gitu.” Ini bukan masalah ekstrem dan tidak ekstrem. Tapi ini masalah komitmen. Memang ada yang ekstrem ketika melampaui batas. Memang tidak kita nafikan ada orang yang melampaui batas. Tapi kita sebagai orang mukmin betul-betul diperintahkan memberikan komitmen kita kepada sunnah Rasulullah SAW. Dan sunah itu memudahkan kehidupan kita. Sunah itu akan menurunkan pertolongan Allah, dan sunah itu pula yang akan menjadikan kita akan melihat bagaimana bangku di Neraka akan diganti dengan bangku di Surga, ketika pada hidupnya dia mengikuti sunnah.
Lalu kemudian dia jujur di dalam sunnahnya, maka sesungguhnya tepat ketika dia meninggal, maka dia akan mendapatkan kemudahan-kemudahan di dalam terminal pertama yang dia tempati. Sebelum nanti juga mendapatkan kenikmatan-kenikmatan berikutnya pada kehidupan di alam mahsyar, mendapatkan syafa’at dan kemudahan ketika melewati shirath, dan itu sangat tergantung dengan bagaimana perjalanan hidupnya untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Makanya para ulama mengatakan, umatnya nabi ada dua; Ada umat istijabah, ada umat ghairu istijabah.
Ada umatnya nabi itu yang istijabah. Umatnya nabi itu yang mereka selalu merespon panggilan-panggilan Rasulullah SAW. Itulah umat yang paling berbahagia. Itulah umat yang dirindukan oleh Rasulullah. Umat yang Rasulullah mengatakan bagaimana besarnya kekaguman Rasulullah kepada umat-umat yang mereka itu istijabah kepada nabi, walaupun tidak pernah berjumpa dengan Nabi SAW.
Makanya nabi pernah ditanya oleh seorang sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash ketika dalam Perang Badar. Maka pada saat usai Perang Badar, Sa’ad itu berkata kepada Rasulullah, Hal baqiya ahadun khairun minna Ya Rasul? “Apakah ada orang yang lebih baik daripada kita Ya Rasulallah?” Maka nabi menjawab, Balaa. Kemudian Sa’ad mengatakan, Aslamna wa jahadna ma’aka. “Kami sudah berislam Ya Rasulallah, dan kami berjuang bersama Engkau dalam peperangan.” Tapi Rasulullah mengatakan, “Ada.” “Siapa itu Ya Rasulallah?” Qoumun yu’mina bi walam yaraani. “Yaitu kaum yang mereka itu beriman kepadaku, walaupun belum pernah berjumpa dengan diriku sama sekali.” Maka itulah kaum yang sudah testimoni oleh Rasulullah. Bahwasanya itulah kaum yang terbaik, walaupun mereka belum pernah berjumpa dengan Nabi SAW. Tapi mereka setia mengikuti Rasulullah.
Tentunya mengikuti sunnah bukan ajang untuk deklarasi dan bukan untuk diproklamirkan. “Kamilah pecinta sunnah Rasul.” Tidak usah. Karena sesungguhnya sunnah itu ibadah. Tidak perlu diproklamirkan secara berlebihan. Yang dikhawatirkan akan terjerumus kepada ujub dan terjerumus kepada pengagungan diri kita secara berlebihan. Sunnah itu ibadah. Tidak perlu kita menilai penilaian orang lain, apakah kita sunnah atau tidak. Karena memang tidak perlu kita penilaian orang lain. Majelis ta’lim Shahabiyah nggak perlu repot-repot untuk disebut majelis ta’lim sunnah ataukah tidak oleh majelis ta’lim yang lain. Karena apa? Majelis ta’lim yang lain juga tidak pernah diberikan mandat untuk memberikan status sunnah dan tidak kepada majelis ta’lim yang lain. Karena sesungguhnya sunnah itu komitmen kita. Supaya dalam kehidupan kita bersumber dengan apapun yang kita lakukan tidak pernah kita meninggalkan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan kita.
Saya banyak menjumpai banyak orang yang terkadang tidak pernah menepuk dada sebagai orang yang sunnah, tetapi seluruh kehidupannya sunnah. Omongannya sunnah, perbuatannya sunnah. Yang terkadang justru sebaliknya, na’udzubillahi min dzalik. Ada orang yang sering sekali menyebut , “Kami sunnah.” “Diri saya sunnah.” Tapi terkadang perbuatannya dan perkataannya justru bertolak belakang dengan apa yang kita baca pada referensi-referensi sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Maka inilah yang kemudian menjadikan kita paham, itulah pentingnya bagaimana kita menjadi umat istijabah. Umat yang mereka senantiasa menjawab dan merespon Rasulullah SAW. Makanya kalau ada di antara kaum muslimin, kok mereka gandrung dengan agnostic, mereka gandrung dengan sosialisme, mereka gandrung dengan pluralisme.
Orang-orang yang gandrung terhadap pemikiran-pemikiran yang semacam itu, pertanyaannya kalau mati siapa yang akan membela dia? Karena sesuatu yang tidak ada tidak bisa membela. Siapa yang membela kalau misalkan ada di antara kaum muslimin gitu, dia gandrung dengan sosialisme. Lalu dia mempertahankan mati-matian ajaran pluralisme, mungkin sekularisme, liberalisme, dia mati-matian mengatakan itulah konsep terbaik.
Pertanyaan sederhana, kalau mati siapa yang akan membela? Siapa yang membela liberalisme kalau orang yang membela liberalisme mati? Siapa yang akan membela sosialisme kalau orang yang membela sosialisme mati? Susah kita secara logika gak masuk. Tapi orang yang mereka mengikuti sunnah, membela Rasulullah, Rasulullah itu ada. Dan sesuatu yang ada itu sangat lebih mudah logic untuk masuk akal bahwasannya dia akan membela. Makanya siapapun yang mereka pada kehidupan mereka itu masyaAllah, ketika paham tentang hadits ini berarti kita semuanya diuji dengan sunnah yang seharusnya kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sunnah ketika kita di rumah, sunnah ketika kita bertetangga, sunnah ketika kita berteman, sunnah ketika kita majelis ta’lim, sunnah ketika mendidik anak, sunnah dari apa yang kita lihat, sunnah dari apa yang kita akses, sunnah dari apa yang kita scroll pun semuanya harus dikembalikkan kepada syariatnya Rasulullah SAW.
Supaya komitmen yang ada pada diri kita ketika mengikuti sunnah, maka itulah yang akan menjadi sebuah pertolongan ketika manusia itu meninggal dunia. Lalu dihadapkan kepadanya malaikat Munkar dan Nakir, maka dia langsung bisa menjawab itu Asyhadu anna abdahu wa rasuluhu. “Itu adalah Muhammad hambanya Allah dan Rasulnya Allah.” Dan seketika maka bangkunya di Neraka diganti oleh Allah dengan bangku di Surga dan dia melihat itu. Dan waktu yang dia lalui akan menjadi waktu yang sangat singkat menuju kepada Hari Kiamat. Karena apa? Kenikmatan yang dirasakan di dalam alam Barzah yang menjadikan waktu terasa singkat dan tidak terasa lama.
Nanti sebagian riwayat ada yang mengatakan dia tidur, nanti akan kita bahas, sebagian riwayat dia akan berjumpa dulu dengan keluarganya. Mereka akan mengunjungi satu keluarga dengan keluarga yang lain, karena itu merupakan bagian dari sebuah kenikmatan di dalam alam Barzah. Dan semua dari hadits-hadits ini tidak bertentangan. Baik yang menerangkan nanti di alam Barzah akan tidur, baik yang menerangkan akan berkunjung, itu sebenarnya tidak bertentangan. Berarti di alam Barzah mereka berjumpa, mereka bertemu dan mereka istirahat sampai Hari Kiamat, dan waktu terasa begitu cepat. Dan itu berdasarkan kepada kehidupannya. Ketika pada kehidupan itu, apakah dia memberikan komitmen untuk mengikuti sunnah ataukah tidak. Sunnah itu bukan milik kelompok, sunnah itu bukan milik golongan. Sunnah itu adalah sebuah kewajiban/dasar/basic dalam kehidupan setiap orang yang beriman untuk mengikuti Rasulullah SAW.
Merasa tidak sunnah tetapi diiringi dengan sebuah sikap untuk terus belajar, dan terus dia menghargai orang, dan terus untuk beribadah itu jauh lebih baik daripada merasa sunnah tapi dengan itu dia gampang mencela, gampang menghujat, ibadahnya pun standar. Dan dia hanya mengandalkan posisi dirinya pada klaim, ketika dia itu merasa bahwasanya dia sudah berdiri di atas sunnah. Merasa tidak sunnah, tapi memperbaiki diri, mau mendengarkan nasehat, terus memperbanyak ibadah supaya dia layak disebut sebagai umatnya Rasulullah, itu jauh lebih baik. Yang menilai itu adalah Allah. Makanya inilah yang kemudian menjadikan kita memahami keterkaitan kita dengan Rasulullah itu keterkaitan besar, yang betul-betul besar. Di mana konsekuensi dari ikatan ini sangatlah besar. Urusan akhirat kita, urusan barzah kita, tergantung bagaimana komitmen kita dengan Rasulullah SAW.