Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kisah Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam: Manusia Pilihan Langit Dan Bumi (Bagian 1)

Selasa, 11 Juni 2024 | 18:49 WIB Last Updated 2024-06-11T14:42:31Z
Daftar Isi [Tampilkan]
Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam | Photo by Latrach Med Jamil on Unsplash

Abdul Muthalib adalah seorang tokoh suku Quraisy di Kota Mekkah yang disegani oleh berbagai kalangan. Beliau juga orang yang diserahi amanah oleh kaumnya untuk mengelola sumur zam-zam, dimana zam-zam adalah sumber air minum bagi para peziarah Ka’bah kala itu. Menjadi pengelola ka’bah dan sumur zam-zam adalah satu jabatan terhormat di kota Mekkah.

Saat itu Abdul Muthalib hanya mempunyai satu-satunya anak yang bernama Harits. Abdul Muthalib ingin sekali mempunyai banyak anak sehingga akhirnya beliau bernazar jika ia dikaruniai sepuluh orang anak maka satu orang anaknya akan disembelih sebagai persembahan kepada Tuhan.

Doa Abdul Muthalib dikabulkan Allah, hingga genap ia dikaruniai sepuluh orang anak. Karena ingat dengan nazar yang pernah diucapkannya maka Abdul Muthalib merasa sudah waktunya harus menunaikan nazar tersebut, yaitu menyembelih salah seorang anaknya.

Tradisi orang Arab saat itu jika dalam keadaan hendak menentukan pilihan, mereka biasanya akan mendatangi sebuah qaddah, semacam tempat pengundian. Tempat ini diyakini sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan untuk menentukan takdir mereka. Ke tempat inilah Abdul Muthalib datang untuk menentukan takdir siapakah anaknya yang akan dipersembahkan kepada Tuhan.

Ketika Abdul Muthalib mulai mengundi nama semua anaknya, nama yang pertama keluar adalah Abdullah. Abdul Muthalib langsung menjadi goyah dan bersedih hati. Pasalnya adalah karena Abdullah adalah anak yang paling disayangi oleh beliau karena wataknya yang lembut dan mempunyai akhlak yang sangat baik.

Abdul Muthalib merasa tak sanggup untuk mengorbankan anak kesayangannya tersebut. Kaum kerabatnya yang turut menyaksikan pengundian itu pun merasa tak tega karena mereka pun menyayangi Abdullah.

Akhirnya mereka bersepakat untuk melakukan pengundian kembali. Namun lagi-lagi nama Abdullah yang keluar sehingga membuat mereka semakin terheran-heran tak percaya dan meminta untuk diundi lagi. Pada pengundian ke-3 tetap nama Abdullah yang keluar sehingga Abdul Muthalib berketetapan hati bahwa memang Abdullah yang dikehendaki untuk disembelih.

Namun keluarga Abdul Muthalib menentang rencananya hendak menyembelih Abdullah sebagai konsekuensi nazar yang pernah diucapkannya. Keluarganya merasa khawatir jika Abdul Muthalib jadi melaksanakan menyembelih anaknya maka hal ini akan dijadikan tradisi oleh kaumnya mengingat abdul Muthalib adalah tokoh Quraisy yang dihormati. Mereka berpendapat bahwa Allah telah membatalkan  tradisi ini pada zaman Nabi Ibrahim AS yang akan menyembelih Nabi Ismail AS.

Karena merasa kebimbangan yang luar biasa antara meneruskan niatnya untuk membayar nazar dengan menyembelih Abdullah ataukah mengikuti permintaan keluarga untuk membatalkannya akhirnya Abdul Muthalib bersama kaumnya  mendatangi seorang peramal. Saat itu bangsa Arab memang masih sangat mempercayai para peramal dan dukun.

Peramal itu kemudian memberikan jalan keluar yaitu dengan mengadakan pengundian kembali  dimana nama Abdullah akan disandingkan dengan 10 ekor unta. Bila nama Abdullah yang keluar maka  akan digantikan dengan 10 ekor unta dan  jika unta yang keluar maka barulah Abdullah bebas. Saat pengundian berlangsung tetap saja nama Abdullah yang terus keluar hingga genap 10 kali pengundian dengan 100 ekor unta yang akan disembelih menggantikan Abdullah.

Bukan alang kepalang kebahagiaan Abdul Muthalib dengan batalnya ia menyembelih anak kesayangannya itu.  Meskipun harus digantikan dengan unta 100 ekor ekor namun tidak menjadi suatu masalah baginya, yang penting adalah Abdullah selamat.

Takdir Abdullah

Kebahagiaan Abdul Muthalib menyaksikan putra kesayangannya dapat tumbuh dewasa ingin disempurnakannya dengan mencarikan Abdullah seorang istri. Abdul Muthalib yang telah berusia 70 tahun merasakan keinginan untuk segera menimang cucu dari Abdullah yang telah berusia 24 tahun dan telah waktunya untuk menikah.

Abdul Muthalib kemudian melamarkan Abdullah dengan  Aminah binti Wahab, putri dari tokoh Bani Zuhrah yang berkedudukan tinggi dan nasab mulia. Bani Zuhrah adalah salah satu cabang suku Quraisy dimana  Wahab bin Abdul Manaf sebagai pemukanya. Maka jadilah kedua nasab mulia dimana keturunan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah ini menyatu.

Tak lama setelah perayaan pernikahan Abdullah dan Aminah, Abdul Muthalib kemudian meminta Abdullah untuk pergi berniaga  bersama rombongan kafilah menuju negeri Syam. Abdul Muthalib memang menggilir anak-anaknya untuk berdagang dan kali ini giliran jatuh pada Abdullah. Meskipun baru saja menikah namun Abdullah tak ingin mengecewakan ayahnya sehingga dia menyanggupi   untuk berangkat.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Mekkah, Abdullah jatuh sakit sehingga ia tak bisa meneruskan perjalanan. Abdullah untuk sementara ditinggalkan di Yatsrib dikediaman paman-pamannya sedangkan rombongan kafilah melanjutkan perjalanan pulang.  

Mengetahui anak kesayangannya tidak pulang bersama rombongan kafilah, Abdul Muthalib merasa gundah gulana hingga akhirnya ia mengutus Harits untuk pergi ke Yatsrib melihat kondisi Abdullah. Namun takdir Allah berkata lain, disaat Harits belum juga tiba ke Yatsrib, berita kematian Abdullah telah mendahuluinya.

Betapa hancurnya hati Abdul Muthalib mendengar berita tersebut. Tak sanggup lagi ia berdiri dengan kedua kakinya. Rasa tak percaya bergelayut dalam benak Abdul Muthalib akan berita itu. Putra kesayangannya yang baru saja ia nikahkan kini telah tiada.  Dalam hatinya bertanya-tanya apakah selamatnya Abdullah dari nazar penyembelihan saat itu karena takdirnya untuk wafat dalam perjalanan berniaga? 

Abdul Muthalib merasakan kegundahan yang tak terkira. Bagaimanakah cara ia hendak menyampaikan berita duka tersebut kepada Aminah yang tengah mengandung calon bayi dari Abdullah. Namun dengan menguatkan hati, Abdul Muthalib bergegas menyampaikan berita tersebut kepada Aminah.  Dengan kalimat yang tergagap-gagap dan semakin menampakkan kegugupannya, Abdul Muthalib menyampaikan berita duka itu dengan sangat  hati-hati agar tak menimbulkan  kegoncangan pada Aminah.

Tak dinyana Aminah begitu tegar menerima berita menyedihkan itu. Aminah hanya terpaku dan menitikkan air mata. Tidak ada ratapan histeris dan kegoncangan hati seperti yang dikhawatirkan oleh Abdul Muthalib.  Sebagaimana ia menjalani kehamilannya dengan tak pernah mengeluh, berita duka itu pun diterimanya dengan tabah.

Aminah adalah wanita yang sangat tenang. Ia menghadapi kenyataan bahwa suaminya takkan pernah kembali lagi dengan ketegaran batu karang. Meskipun merasa sedih namun kesedihan itu tak membuatnya meratap dan mengeluh. Ia terima takdir dari Allah dengan hati yang lapang.   

Tidak seperti wanita-wanita lain yang kerap kali mengeluh bila sedang hamil, Aminah menjalani kehamilannya dengan penuh ketenangan. Bahkan ia sering mengalami banyak keanehan dalam masa kehamilannya seakan-akan sebuah pertanda akan terjadi suatu hal yang luar biasa. Kekuatan seperti itu pula yang membuatnya tidak merasakan kegoncangan yang berarti ketika mendengar berita wafatnya Abdullah, sang suami terkasih.

Hanya sekejap ia merasakan manisnya sebuah pernikahan. Betapa dulu ia merasa sangat beruntung mengetahui akan dipersunting oleh seorang pemuda berhati lembut dan berahlak mulia, putra tersayang seorang pemuka Quraisy yang sangat dihormati. Namun kini begitu cepat ia harus kehilangan sang pujaan.

Sumber : Buku “Muhammad Sang Yatim” Karya Prof.Dr. Muhammad Sameh Said